Di Depan Tokoh Papua, Jokowi: Sudah Hukum Tuhan Kita Berbeda

Jokowi Ajak Makan Siang Warga Papua

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi bertemu dengan sejumlah tokoh Papua di Istana Negara. Di hadapan mereka, Jokowi berdialog mengenai pengalamannya berada di Bumi Cenderawasih.
"Sudah hukumnya Tuhan kita memang berbeda seperti ini," kata Jokowi, Selasa (10/9/2019).

Jokowi membeberkan perjalanan lima tahun memimpin Indonesia dirinya sudah 12 kali ke Papua, baik itu Papua Barat atau Papua. Intensitas ini lebih banyak dibanding Jokowi berkunjung ke provinsi lain.

"Provinsi lain mungkin 2-3 kali," kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Jokowi mengatakan, Indonesia adalah wilayah yang sangat luas. Itu dibuktikan dengan jaral tempuh yang dilakukannya dari Aceh ke Wamena, Papua, yang memakan waktu sembilan jam 15 menit, sama dengan jarak dari London ke Istambul.

"Bayangkan kalau kita jalan kaki, enggak tahu berapa tahun akan sampai," ujar Jokowi.
Dia menambahkan, dirinya sudah berkunjung sebanyak 3-4 kali ke Wamena dan dua kali ke Nduga.
"Mungkin yang di Papua saja belum pernah ke Nduga," kata Jokowi.

Sejumlah Menteri Menemani

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerima 61 tokoh dari Papua dan Papua Barat di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9/2019) siang. Adapun 61 tokoh ini terdiri dari tokoh adat, agama, kepala suku, aktivis, hingga akademisi.

Berdasarkan pantauan, Jokowi tiba di Istana Negara sekitar pukul 11.00 WIB. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu langsung menyalami para tokoh dari Papua dan Papua Barat satu per satu.
Puluhan tokoh yang datang itu kompak mengenakan topi rumbai. Begitu juga para menteri yang mendampingi Jokowi. Sementara, Wali Kota Solo itu memakai baju kemeja bewarna putih.

Dalam pertemuan ini, Jokowi didampingi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Wiranto, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi. Ada pula Staf Khusus Presiden untuk Papua Lenis Kogoya.

Acara ini dibuka terlebih dahulu oleh Kepala BIN Budi Gunawan. Dia berharap melalui pertemuan ini para tokoh Papua dan Papua Barat menyampaikan aspirasinya langsung kepada Jokowi untuk memajukan dan mewujudkan kesejahteraan di Bumi Cendrawasih itu.

"Tentunya di dalam kesempatan yang sangat luar biasa ini dapat menyampaikan aspirasi tentang bagaimana memajukan Papua," ucap Budi.

Kemudian, Budi Gunawan mempersilahkan salah satu tokoh Papua bernama Abisai Rolio untuk menyampaikan aspirasinya. Jokowi sendiri tampak serius mendengarkan aspirasi dari tokoh Papua tersebut.

Share:

Sistem Hukum Indonesia yang Belum Ramah Bagi Disabilitas

Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta - Gagasan inklusi membutuhkan pondasi yang demokratis. Demokratis adalah sebuah syarat yang memungkinkan untuk kemajuan produktivitas manusia, termasuk bagi disabilitas.
Bayangkan jika akses ilmu pengetahuan, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan bisa didapatkan dengan mudah oleh masyarakat. Namun nyatanya, kini kita hidup dalam selubung mengenai demagogi demokratisasi.

Termasuk dalam dunia hukum, demokratisasi harus menjadi alas pijak bagi sistem yang paling dominan dalam kehidupan bangsa ini.

Bagi difabel atau disabilitas, persoalan utamanya ada pada gagasan awam yang nir inklusi dan akses infrastruktur, seperti dilansir dari www.newsdifabel.com, Selasa (10/9/2019).
Menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang disebut penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Sedangkan pembagian umum kategori difabel yaitu:
1. Difabel Intelektual, bisa disebut sebagai perlambatan pembaharuan/retardasi mental, kebalikan dari akselerasi, dalam bhs. Inggris disebut slow learner.
2. Difabel Mobilitas, berupa hambatan yang ada di tubuh, gangguan motorik gerak tubuh, autis, paraphlegia.
3. Difabel Komunikasi, yaitu pendengaran, wicara.
4. Difabel Sensorik, yaitu pengelihatan total atau low vision, dll.
5. Difabel Psikososial, yaitu orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ.

Selain itu, menurut Resolusi PBB Nomor 61/106 tanggal 13 Desember 2006, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang tidak mampu menjamin oleh dirinya sendiri, seluruh atau sebagian, kebutuhan individual normal dan/atau kehidupan sosial, sebagai hasil dari disabilitas mereka, baik yang bersifat bawaan maupun tidak, dalam hal kemampuan fisik atau mentalnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Dari ketiga definisi legal di atas, yang menyamakan adalah disematkannya hak untuk mengakses. Dalam hal ini akses layanan publik termasuk peradilan dan sistem hukum. Dan kita semua dimungkinkan bersentuhan dengan hukum, termasuk disabilitas.

Hukum Pidana

Makna aksesibel di sini adalah bisa teraksesnya sistem hukum pidana oleh difabel tanpa diskriminasi. Setidaknya, ada beberapa hal yang tidak ramah difabel, diskriminatif, dan masih luput atau belum diatur dengan tegas sebagai kepastian hukum dari situasi penyandang difabel.
Beberapa hal tersebut adalah pertama, tentang usia anak. Dalam hukum di Indonesia, setidaknya ada tiga perbedaan tentang batas usia anak.

Kitab Undang-undang Hukup Pidana Pasal 45 menyebut bahwa usia anak adalah sebelum enam belas tahun. Sedangkan UU Nomor 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Anak yang Berkonflik dengan Hukum mengatakan definisi anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Berbeda dengan ketentuan dalam KUH Perdata Pasal 330 yang menyatakan bahwa, yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Lalu persoalan datang ketika ada situasi bahwa korban adalah seseorang dengan retardasi mental/difabel intelektual yang usia sesuai kalender misal sudah 25, namun umur psikologisnya (hasil dari analisa ilmiah psikologi) masih 10 tahun. Apa yang akan digunakan; sistem peradilan anak atau dewasa? Belum ada yang mengatur.

Kedua adalah keji, dan diskriminatif. Pasal 4 UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan ayat (2) poin (b) memberikan legitimasi kepada suami untuk berpoligami jika istri menjadi difabel.
"(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: (b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,".

Bahkan pemilihan disksinya pun keliru, masih menggunakan diksi cacat, bukan difabel atau disabilitas.
Ketiga,dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka (26) dinyatakan bahwa yang dapat memberikan keterangan untuk kepentingan penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana adalah ia yang melihat sendiri, mendengar sendiri, mengalami sendiri.

Pengakuan Kesetaraan Disabilitas

Dalam definisi tersebut maka saksi-korban penyandang difabel yang mengalami sendiri namun tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, atau bahkan keduanya (difabel ganda), berdasarkan ketentuan KUHAP Pasal 1 angka (26) tidak masuk dalam definisi untuk bisa memberikan keterangan atau kesaksian secara jelas dan rinci, sehingga kesaksiannya pun dinyatakan meragukan.

Konsekuensi lainnya tentang definisi di atas, saksi atau saksi-korban tidak masuk dalam kategori yang bisa diterima oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terutama karena dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 juga mendefinisikan saksi sama dengan definisi KUHAP.

KUHAP (Pasal 178) hanya mengatur tentang hak khusus untuk saksi bisu atau tuli (termasuk tidak dapat menulis), berhak mendapatkan penerjemah; dan hak untuk mendapatkan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis dan menjawab secara tertulis bagi saksi bisu dan/atau tuli-bisu tetapi dapat menulis.

Keempat, UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) terutama Pasal 12 dalam Konvensi.

Di situ secara jelas diatur mengenai kesetaraan hak dan pengakuan di hadapan hukum kepada penyandang disabilitas dimana pun berada sehingga, kewajiban penyelenggara negara adalah membuat agar infrastruktur layanan publik bisa dan mudah diakses oleh penyandang difabel.
Pengakuan kesetaraan perlakuan bagi difabel juga diperkuat oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Pasal 5 menyebutkan bahwa (1) setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum, (2) setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak, (3) setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Sistem hukum pidana kita harus terus diperbarui agar relevan dengan perkembangan masyarakat, jika tidak, maka implikasinya bisa destruktif. Sebagai contoh yaitu kekerasan seksual yang dialami anak di bawah umur yang juga penyandang difabel di Maluku Utara, Ternate. Korban inisial UI adalah anak dengan difabel ganda (bisu dan tuli) yang menjadi korban pelecehan seksual. Alhasil, sejak dilaporkan ke polisi pada November 2014, terduga pelaku melenggang bebas. Alasan aparat adalah belum memiliki bukti yang cukup, meski kepolisian sudah memeriksa empat orang saksi yaitu ibu korban, guru korban, bibi korban, dan korban.

Memang harus diakui oleh Negara bahwa proses diskriminasi masih hidup menggasak sektor masyarakat tertentu. Difabel adalah minoritas-banyak yang masuk dalam kelompok rentan diskriminasi.
Selain oleh sistem peradilan pidana, proses diskriminasinya juga hadir dari proses seleksi penerimaan pegawai atau karyawan. Tentu kita semua tahu jika ada syarat penerimaan pegawai yang menyatakan harus sehat jasmani dan rohani, sebagai contoh adalah Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Peradilan Umum.

(Desti Gusrina)

Share:

Keluarga Korban Pengeroyokan Polisi Meminta Perlindungan Hukum

keroyok

Liputan6.com, Mataram - Kasus dugaan pengeroyokan hingga menewaskan Zainal Abidin, pelanggar lalu lintas yang diduga dilakukan oleh oknum polisi berbuntut panjang.
Pihak keluarga korban mendatangi kantor Biro Komunikasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram dan meminta pendampingan hukum agar pelaku pengeroyokan dihukum seberat beratnya.

"Kami, keluarga dekat almarhum dan masyarakat Masbagik, Lombok Timur meminta agar pelaku pengeroyokan dihukum seberat beratnya," ujar Heri Kiswanto, paman Zainal Abidin di Mataram.

Heri mengatakan, kedatangannya ke BKBH FH Unram karena mengetahui dengan pasti bahwa Zainal Abidin meninggal karena dikeroyok bukan karena mengidap penyakit seperti yang disampaikan oleh pihak kepolisian.

Ia mengetahui hal tersebut dari keponakan korban, Ihsani, sesaat setelah Zainal menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Doktor Sudjono, Selong, Lombok Timur.
"Memang benar Zainal mengalami gangguan jiwa. Tetapi Zainal tidak pernah bikin onar. Dan dari keterangan Ihsani kepada saya, Ihsani melihat langsung bahwa Zainal dikeroyok di Satlantas dan di dalam ruangan Penyidik Reskrim Polres Lombok Timur," kata Heri.

Pengakuan Ihsani tersebut menurut Heri benar adanya. Sebab, kata dia, saat Jenazah Zainal dimandikan, ia melihat banyak luka memar di kepala dan badan Korban.
"Di bagian wajahnya lebam, dan di kupingnya keluar darah kelihatan sekali kalo itu bekas pemukulan," kata Heri.

Sementara itu direktur BKBH FH Unram, Joko Jumadi mengatakan pihaknya telah menyediakan delapan orang pengacara dalam menangani kasus tersebut. Sebab ia menduga pihak kepolisian terkesan menutup nutupi kasus tersebut dengan memberikan uang taliasih senilai 30 juta kepada orang tua korban.

"Kami harap kepolisian terbuka dan menyampaikan fakta yang terjadi dan memproses pelaku dugaan pengeroyokan. Kuat dugaan dari kami ada kesalahan SOP. Kalau tidak ada kesalahan, tidak mungkin ada tali asih," kata Joko Jumadi didampingi pengacara lainnya.

Share:

Tak Didampingi Kuasa Hukum, Sidang Dakwaan Habil Marati Ditunda

Terdakwa Habil Marati menjalani sidang perdana atas kasus dugaan makar dan perencanaan pembunuhan empat tokoh nasional.

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Habil Marati menjalani sidang perdana atas kasus dugaan makar dan perencanaan pembunuhan empat tokoh nasional. Habil datang tanpa didampingi pengacara karena mengaku tidak tahu jika sidang perdananya digelar hari ini.
"Saya baru tahu ada sidang, diberitahu tadi pagi, makanya kuasa hukum saya tidak ada," kata Habil Marati di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).

Namun, menurut jaksa penuntut umum (JPU), pemberitahuan sidang hari ini sudah disampaikan sepekan kemarin bersama surat dakwaan yang dilayangkan Tim JPU.
Karena kesalahan informasi ini, Hakim Ketua Majelis Haryono memberikan kesempatan bagi Habil untuk bersidang di pekan depan. Dengan catatan harus didampingi kuasa hukum.
"Kami kasih kesempatan Bapak ya didampingi penasihat hukum, untuk itu sidang kita tunda hari Kamis yang akan datang," kata Hakim Haryono.

Sebagai informasi, Habil Marati ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi atas kasus dugaan rencana pembunuhan empat tokoh nasional, yakni Wiranto (Menko Polhukam), Luhut Binsar (Menko Kemaritiman), Budi Gunawan (Kepala BIN) dan Gories Mere.
Habil diduga sebagai penyandang dana yang memberikan SGD 15 ribu sebagai uang operasional kepada Kivlan Zen agar bisa membeli senjata api ilegal untuk dapat mengeksekusi empat tokoh nasional tersebut.

Bantah Beri Dana Makar

Usai batal bersidang, Habil membantah telah memberikan dana untuk makar untuk mengeksekusi empat tokoh nasional. Dia mengklaim, semua tudingan adalah fitnah. "Semua fitnah itu," kata Habil.
Menurut Habil, duit diberikan kepada Kivlan Zen hanya sebesar Rp 50 juta. Uang itu dimaksudkan mendukung Kivlan untuk kegiatan seminar Supersemar dan juga kajian bertemakan UUD 1945.
"Pak Kivlan minta uang Rp 50 juta itu untuk dia kegiatan survei bahaya bangkitnya komunis, kedua untuk supersemar dan ketiga pengkajian kembali ke UUD 45, itu aja," tandasnya.

Share:

Wacana Wagub DKI Jakarta Lebih dari Satu, PSI Kaji Dasar Hukum

Anggota DPRD DKI asal PSi Idris Ahmad usai dilantik di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta. (Liputan6.com/Ika Defianti)

Liputan6.com, Jakarta - DPRD DKI Jakarta mewacanakan penambahan jumlah wakil gubernur (wagub) lebih dari satu. Wacana ini muncul dalam rapat, namun masih menjadi usulan individu, bukan usulan resmi fraksi.
Terkait wacana ini, Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) akan mengkaji dari sisi aturan atau dasar hukumnya.

"Kalau kami melihatnya ini masih sebatas wacana. Dan kami juga lagi pelajari aturannya. Sejauh ini baru seperti itu. Karena itu kan tidak akan masuk dalam pembahasan tata tertib. Jadi kami dalam proses pendalaman terhadap dasar hukum. Kalau berwacana kan boleh saja," jelas Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, Idris Ahmad, dihubungi Merdeka, Rabu (11/9/2019).
Jika dasar hukumnya membolehkan, Idris mengatakan hal yang kemudian harus jadi pertimbangan jika wagub ditambah adalah kebutuhan demi optimalisasi kinerja pemerintahan. Jika memang benar dibutuhkan dua wagub, menurutnya tak masalah.

"Kalau peraturan membolehkan dasar kebutuhannya apa? Apakah memang akan mengoptimalkan kinerja dari pemerintah daerah atau enggak. Pertimbangannya itu," tutur dia.
"Sekarang kita belum mendapat kepastian, kita akan konsultasi sebenarnya memungkinkan enggak secara hukum. Kalau pun misalnya hukum membolehkan, apa benar-benar dibutuhkan untuk mengoptimalkan kinerja dari pemerintah daerah," imbuhnya.

Dibahas Lebih Lanjut

Idris menegaskan, dasar hukumnya harus kuat baru kemudian bisa dibahas lebih lanjut.
"Jadi pada prinsipnya PSI akan mempertanyakan apakah dasar hukumnya kuat dan apakah benar-benar bisa meningkatkan kinerja dari pemerintah daerah yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

Dia mengatakan, wagub yang tidak terpilih berdasarkan proses Pemilu akan dipilih melalui mekanisme di DPRD.

"Jadi partai pengusung yang sebelumnya mengusulkan akan menyerahkan namanya, nanti akan dibentuk tim panitia pemilihan, dibentuk tata tertibnya terus juga nanti ada pemilihan oleh anggota DPRD," pungkasnya.

Sumber: Merdeka.com
Reporter: Hari Ariyanti

Share:

Jokowi: SP3 di KPK untuk Beri Kepastian Hukum

Seruan Lapor Kekayaan, Spanduk Raksasa Dibentangkan di Gedung KPK

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan setuju adanya penebitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi mengatakan hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum.
Hal ini dikatakan Jokowi dalam konferensi pers menanggapi revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan oleh DPR.

"Keberadaan SP3, hal ini juga diperlukan sebab penegakan hukum harus menjadi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan untuk memberikan kepastian hukum," kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Kendati begitu, Jokowi mengusulkan SP3 dikeluarkan setelah kasus berjalan dua tahun. Menurut dia, hal ini jauh lebih lama dari usulan DPR dalam revisi UU KPK, yang hanya memberikan waktu satu tahun.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menambahkan, SP3 tersebut opsional. Nantinya, KPK boleh menggunakannya ataupun tidak.
"Kami minta 2 tahun supaya memberikan waktu memadai KPK, yang penting ada kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan atapun tidak digunakan," jelas Jokowi.

KPK Sentral Pemberantasan Korupsi

Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyetujui revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Dia menilai UU tersebut sudah cukup tua, sehingga perlu disempurnakan.
"Kita tahu UU KPK telah berusia 17 tahun, perlu adanya penyempurnaan secara terbatas, sehingga pemberantasan korupsi makin efektif," kata Jokowi di Istana Negara, Jumat (13/9/2019).
Dia mengaku telah mempelajari dan mengikuti secara serius seluruh masukan-masukan yang diberikan para pegiat antikorupsi, dosen, mahasiswa, dan juga masukan dari para tokoh-tokoh bangsa yang menemuinya.

"Oleh karena itu, ketika ada inisiatif DPR untuk mengajukan revisi UU KPK, maka tugas pemerintah adalah meresponsnya. Menyiapkan daftar inventarisasi masalah dan menugaskan menteri untuk mewakili Presiden dalam pembahasan bersama DPR," ujar Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menegaskan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi melalui KPK. Dia berjanji menjaga KPK agar lebih kuat dibanding lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.

"Intinya KPK harus tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai dan harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," kata Jokowi.
Oleh karena itu, dia memberikan arahan ke Menkumham dan Menpan RB agar menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait subtansi-substansi di revisi UU KPK.

Share:

Masyarakat Peduli Hukum Gelar Aksi Dukung Revisi UU KPK di Depan Istana

Aksi Dukung Revisi UU KPK

Liputan6.com, Jakarta - Massa aksi dari Aliansi Masyarakat Peduli Hukum Indonesia (AMPHI) melakukan unjuk rasa mendukung revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aksi digelar di Taman Pandang depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Jumat (13/9/2019).
Dilansir Antara, orator aksi demo menyampaikan KPK memerlukan dewan pengawas untuk setiap kegiatan yang dilakukan, terutama untuk mengawasi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Para massa aksi membawa selebaran dengan tulisan "Dukung Revisi UU KPK", "Revisi UU KPK harus didukung!" dan spanduk bertuliskan "Revisi UU KPK memperkuat Fungsi dan Kerja KPK". Massa turut membawa bendera Merah Putih dalam aksinya.

Diperkirakan sebanyak 100 orang yang terdiri berbagai golongan baik wanita, pria dan anak muda terlibat dalam massa aksi ini. Mereka yang menyatakan sebagai AMPHI mendukung revisi UU KPK agar lembaga antirasuah itu menjadi semakin kuat.

Aksi tersebut juga sebagai dukungan terhadap 5 pimpinan KPK periode 2019-2023 yang baru saja dipilih DPR. Mereka juga menolak intervensi yang dilakukan wadah pegawai (WP) KPK dalam pemilihan pimpinan tersebut.

Koordinator aksi, Rovly Rengirit mengatakan, Revisi UU KPK dilakukan untuk mengembalikan semangat dan cita-cita dibentuknya lembaga antikorupsi itu.

"Kami mendukung Revisi UU KPK untuk selamatkan KPK. Kami mendukung Revisi UU KPK untuk lebih memperkuat KPK menjalankan fungsinya sebagai lembaga negara yang independen," katanya.

Dia menegaskan, Revisi UU KPK dilakukan untuk memperkuat, bukan untuk memperlemah lembaga antirasuah. Karena itu, dia menegaskan, Revisi UU KPK harus didukung untuk meningkatkan kinerja dan profesional KPK.

Share:

Menteri LHK: Sanksi Hukum Siapa pun yang Bandel Bakar Hutan dan Lahan

Menteri LHK Bahas Isu Tambang dan Sampah Plastik Bersama DPR

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (LHK) Siti Nurbaya Bakar menegaskan akan memberi sanksi hukum kepada siapa pun yang terbukti bersalah pada kejadian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

"Sikap tegas penegakan hukum yang dilakukan Kementerian LHK lima tahun terakhir membuahkan hasil, yakni kasus kebakaran hutan dan lahan sudah menurun jauh. Kalau masih ada yang membandel pasti ditindak," kata Siti Nurbaya di Jakarta, Sabtu (14/9/2019) malam, seperti dikutip Antara.

Menurut Siti Nurbaya, mencermati persoalan kebakaran hutan dan lahan, yang disebutnya kebakaran bentang alam atau "landscape fire", hanya mereka-reka dari jauh, tapi harus tahu betul kondisi lapangan.

"Lanskap itu bercirikan waktu dan tempat yang selalu berubah, dan sangat berpengaruh pembentukannya, serta adanya interaksi antara ruang dan waktu dalam bentuk sosio-kultural, sehingga tidak bisa menyimpulkan secara linier," katanya.

Siti Nurbaya menjelaskan hal itu guna merespons pandangan yang muncul di ruang publik baik nasional maupun internasional, terkait dengan menguatnya intensitas hotspot di sejumlah daerah di Sumatera dan Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah.

Menurut dia, muncul juga berbagai "hopthesis" termasuk pandangan yang rasional dilontarkan di ruang publik, maupun tudingan bahwa kebakaran hutan di Sumatera karena okupasi ilegal, korupsi, dan rendahnya penegakan hukum.

Penegakan hukum, kata dia, merupakan bagian penting dalam bangunan konsep penanganan "landcsape fire" di Indonesia, tata kelola kawasan sebagai pencegahan, serta mata pencaharian masyarakat di sekitar hutan, maupun bagi masyarakat untuk sejahtera.

Selain penegakan hukum yang sudah berjalan selama lima tahun terakhir ini, menurut Siti Nurbaya, hal penting lainnya adalah tata kelola termasuk oleh para pemegang izin penguasaan hutan.

"Ini merupakan aspek penting. Misalnya, pada izin restorasi ekosistem yang diberikan kepada WWF. Sebagai pemegang izin yang ternyata juga mengalami kebakaran berulang di wilayah konsesi izin tersebut," katanya.

Share:

Pro-Kontra Revisi UU KPK, PDIP Tegaskan KPK Butuh Kepastian Hukum

Presiden Jokowi Beri Keterangan Terkait Revisi UU KPK

Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menjelaskan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah bertindak tepat terkait dengan keputusannya untuk menyetujui revisi UU KPK.
Dia pun mengimbau agar semua pihak, baik yang pro maupun kontra terhadap revisi UU KPK, bisa menyampaikan argumentasi mereka dengan baik dan tak asal menyerang keputusan Jokowi.

"Sebaiknya kita melihat secara jernih terhadap pro dan kontra antara yang setuju perubahan Undang-Undang KPK dengan yang tidak setuju. Itu bagian dari demokrasi," ujar Hasto di De Saung, Bogor, Minggu (15/9/2019).
Menurutnya, pihak yang setuju terhadap perubahan UU KPK harus menyampaikan alasan pentingnya revisi UU KPK itu. Sebab, Hasto menilai mereka pastinya memiliki landasan argumentasi yang kuat terkait hal ini.

Dia pun mengingatkan adanya kekuasaan tak terbatas yang dimiliki KPK yang dapat disalahgunakan oknum tertentu sebelum revisi UU KPK diadakan. Di sisi lain, Hasto menjelaskan bahwa pihak yang kontra pun juga harus bisa menyampaikan argumentasinya.
"Harus bisa memberikan jawaban yang jelas terhadap berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang ada di dalam KPK yang dilakukan oleh oknum-oknum KPK," tutur Hasto.

"Nah jadi mereka yang tidak setuju sebaiknya dari dalam internal KPK juga mampu memberikan penjelasan terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu, menjawab berbagai pertanyaan yang secara kritis disampaikan oleh masyarakat," imbuh Hasto.

Melihat Temuan BPK

Hasto menambahkan, pihak yang menolak revisi UU KPK juga sebaiknya melirik hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dia menilai, BPK dapat memberikan perspektif lain karena bisa menunjukkan indikasi berbagai penyimpangan dalam kinerja KPK.

Dia menegaskan, adanya revisi UU KPK ini bisa memperjelas kepastian hukum untuk KPK.
"Karena itulah dari temuan BPK itu kami berpendapat justru dengan revisi Undang-Undang KPK ini akan memberikan kepastian hukum. Karena kalau tidak ada revisi, maka apa yang diputuskan oleh KPK akan tidak memiliki kekuatan hukum," ucap Hasto.

"Itu berdasarkan dari keputusan Mahkamah Agung dan audit dari BPK, dimana PP (Peraturan Pemerintah) yang dipakai untuk dasar bekerjanya KPK tidak memiliki landasan hukum tersebut," dia mengakhiri.

Share:

Forum Lintas Hukum Kecewa Mandat KPK Diserahkan ke Jokowi

Presiden Jokowi Beri Keterangan Terkait Revisi UU KPK

Liputan6.com, Jakarta - Forum Lintas Hukum Indonesia (FLHI) kecewa mandat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diserahkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Menurut mantan Direktur Penyidik Polri Kombes (Purn) Alfons Loemau yang juga anggota FLHI, seharusnya pimpinan KPK tak pernah menyerahkan mandat lembaga antirasuah kepada Jokowi.
"Sebagai sebuah lembaga negara penegak hukum, seharusnya dalam keadaan apa pun pimpinan KPK tetap di jalur dan menjaga marwah KPK," ujar Alfons Loemau di Kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, Minggu (15/9/2019).

Dengan mundurnya Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, Alfons Loemau pun meminta agar Jokowi segera menunjuk pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK. Setidaknya hingga Desember 2019, atau sebelum pimpinan KPK terpilih periode 2019-2023 mengambil alih tugas pemberantasan korupsi.
"Sebaiknya pemerintah membekukan sementara kepemimpinan KPK periode 2015-2019 dengan menunjuk 5 (lima) orang pimpinan KPK sebagai Plt hingga pimpinan KPK periode 2019-2023 dilantik," kata dia.

Selain soal mandat KPK diserahkan kepada Jokowi, FLHI juga menyoroti soal revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Menurut Sekretaris FLHI Serfasius Serbaya Manek, UU KPK yang sudah 17 tahun sudah semestinya direvisi.

Dari salah satu draft revisi UU KPK yang disetujui oleh Serfasius yakni mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Setidaknya dengan penerbitan SP3 oleh KPK, lembaga antirasuah itu bisa memberikan kepastian hukum terhadap para terduga pelaku korupsi.
"Itu salah satu gambaran UU 30 Tahun 2002 dan sudah saatnya diubah karena ada dugaan abuse of power. Ada kewenangan hukum yang melangkahi hak-hak dasar seseorang," kata Serfasius.

Kepastian Hukum

Pernyataan Serfasius ini diamini oleh anggota FLHI yang juga mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Imam. Sebab, dalam Pasal 5 UU KPK mengatakan KPK harus berasaskan kepastian hukum di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

"Jadi bagi kami, UU itu perlu direvisi karena banyak yang hal-hal tercecer yang belum dimasukkan ke dalamnya. Banyak hal-hal yang terlewatkan, sementara UU ini sudah ada selama 17 tahun lamanya," kata Chairul.

Share:

Recent Posts